By: Nona Effendi
Namaku
Vena, Venada rahmi Diana, itu nama komplitku. Dulu aku cantik, aku ceria,
mataku bersinar. Namun itu dulu sekali sebelum akhirnya aku menjadi mayat hidup.
Yang seakan berada di tepi kematian dan ambang kuburku.
|
Pagi itu suasana di kampusku sangat ramai
sekali, karena ada acara Dies Natalis kampus tercintaku, aku bertindak sebagai
sekertaris kepanitiaan dalam acara tersebut. Di situlah aku bertemu dengan mas
ifan, dia ketua senat di kampusku. Meskipun dia punya jabatan yang oke di
kampus, tapi dia tetaplah seorang yang rendah hati dan bijak dalam setiap
mengambil keputusan, dan yang tak kalah penting adalah dia tidak sombong
seperti anggota senat yang lain, hal itulah yang membuat banyak cewek di
kampusku ngantri ngarep jadi special girl nya.
“ Dik Vena, tolong nanti daftar acaranya di
ketik yang rapi dan segera di serahkan ke aku ya..tak tunggu jam tiga harus
sudah beres.nanti kita ketemu di sekertariat kampus aja.” printahnya padaku
dengan lembut.
“ iya, mas..segera aku kerjakan” jawabku
dengan agak grogi, karena memang dari awal aku sudah ngefans padanya.
Tepat jam tiga aku sudah menunggunya di
sekertariat kampus dengan membawa daftar2 peserta yang dia minta tadi. Aku tak sabar ingin
bertemu dengannya.tiba tiba hujan turun lumayan deras pada waktu itu.
“ maf dik, aku telat”. Sapanya sambil
mengibaskan rambut dan bajunya yang agak basah karena kehujanan.
“ iya, mas, gak pa pa..ini laporannya”,
jawabku sambil kusodorkan setumpuk daftar yang dia pinta.
“ok. Thanks ya. Eh. Masih hujan, kita ngobrol
aja dulu disini,.kita belum banyak kenal kan..” pintanya padaku sambil agak
meledek. Otomatis aku langsung mengiyakan.
Sejak saat itu, aku tak bisa menghilangkan
bayang – bayangnya dari pelupuk mataku. Setiap hari rasanya ingin selalu
bertemu mas ifan, hari – hariku pun selalu penuh dengan angan – angan padanya.
Meskipun aku tahu mas ifan adalah sosok yang sangat cuek dengan cewek, dia
bukan type cowok romantic. Tapi dari tatapan matanya, aku tahu sebenarnya dia
juga menyukaiku.
*
Saat musim liburan kuliah, aku lebih memilih untuk pulang kampong, yang
kebetulan daerah asalkupun juga tak begitu jauh dengan kampusku.
“Kring…kring..kring…” telepon rumahku
bordering
“ halo assalamualaikum..” aku menyapa si
penelpon.
“ waalaikum salam, vena. Hari kamu ada di
rumahkan? Aku ingin silaturrohim kerumah kamu..” Tanya si penelpon yang aku
hafal banget suaranya, itu adalah mas ifan.
“ e.. e.. e iya mas , vena ada di rumah kok.
Kira kira Mas ifan nyampek rumah vena jam brapa?” tanyaku sambil terbata bata.
“ sekitar jam sebelas siang..” jawabnya
dengan penuh semangat.
“ ok. Mas, vena tunggu” balasku dengan senyum
manis mengembang di bibrku.
Pukul 09.30.” huh masih lama skali..”
gerutuku sambil bolak balik melirik jam tanganku, Karen aku sungguh tak
sabar ingin melihat wajah mas ifan yang
penuh pesona, aku sangat penasaran , ada apa kok tiba – tiba mas ifan pingin
maen kerumahku.
“ Assalamualaikum..” sapa mas ifan kepadaku,
“mari masuk mas..” balasku..sampai lupa aku
menjawab salamnya, saking gugupnya aku.
Siang itu, Bagaikan mendapat durian runtuh
setelah lama mengobrol tiba tiba mas ifan mengutarakan maksud kedatangannya
.Bahwa dia ingin memintaku pada orangtuaku. Ya, dia ingin meminangku. Dia ingin
menikahiku.
Singkat cerita, akhirnya hanya jarak dua
bulan setelah dia melamarku, kami menikah. Resepsi pernikahan kami, diadakan
dengan sederhana di rumah orang tuaku. Hanya kerabat dekat dan beberapa
temanku dan juga teman mas ifan yang
kami undang. Dan aku merasa menjadi wanita paling bahagia saat itu.
“Selamat ya dik vena..engkau berhasil
memenangkan hati ifan...semoga cepat dapat momongan…” kata mbak yosi, dia teman
sekelas mas ifan, sambil berpamitan pulang. Mbak yosi yang saat itu nampak
anggun dengan balutan dress pink nya.
“ iya mbak..makasih ya…” jawabku sambil
bercipika cipiki dengan nya.
**
Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa sudah
lima tahun kami menikah, mas ifan pun sudah tiga tahun lulus kuliah dan sekarang dia juga sudah bekerja menjadi
seorang advokat. Sementara aku , setelah menikah dulu, aku putuskan untuk tidak
melanjutkan kuliahku. Satu hal yang ingin aku sampaikan, Sampai saat ini kami
belum dikarunia anak. Dan hal itulah yang membuat mas ifan pelan pelan
membunuhku, dia berubah . Dia bukan mas ifan yang aku kenal dulu. Sekarang dia
sering berkata kasar padaku, dia sering pulang telat. Bahkan kadang, pulang dalam keadaan mabuk. Kalau sudah
begitu tak jarang pula dia memukulku.
“Dasar wanita mandul.!!” Bentaknya padaku,
suatu malam ,sambil matanya tajam menatapku. Kata kata itu sudah tak asing lagi di telingaku. Dua tahun belakangan
ini dia sangat tertekan dengan pertanyaan pertanyaan ibunya,teman – temanya,
family.. yang selalu menanyakan kapan kami punya momongan.
“ Mas, knapa mas berkata seperti itu..ini
bukan kehendakku mas. Mungkin kita memang belum di percaya untuk mempunyai
anak..” jawabku sambil terisak, tak kuasa menahan tangisku.
“ alah..bulsit…eh..kamu tau gak.!! Wanita
mandul itu tak ada harganya !!..” bentak
dia lagi dan sambil menunjuk mukaku.
“Mas, kita kan sudah cek ke dokter juga.
Dokter bilang tak ada masalah denganku
kan..” belaku.
“aku tak mau dengar ocehanmu..sekarang kamu
diam!!” kilahnya, sambil memasukkan beberapa bajunya kedalam koper. Dan
langsung nyelonong pergi ,tanpa berpamitan padaku.
Aku hanya tertunduk menangis sambil kuremas
perutku sendiri. “kenapa aku tidak bisa seperti wanita- wanita lain, apakah aku
benar- benar bukan wanita sempurna..” gumamku lirih.
***
Tiga hari berlalu, mas ifan belum juga
pulang.Dia juga tidak menelfonku sama sekali. Aku mulai panik, di mana dia
berada. Lalu aku datang ke kantornya untuk menanyakan apakah selama tiga hari ini mas ifan masuk
kerja apa tidak.
“ Selamat pagi bu vena ?” Sapa salah satu staf mas ifan.
“Pagi juga mbak, pak ifan apa ada di
ruangan?” tanyaku
“Bapak sudah tiga hari tidak masuk kantor bu
.., apa beliau sakit?” Tanya staf itu balik bertanya padaku. aku smakin
bingung, kemana mas ifan perginya.
“ O..tidak..bapak baik- baik saja..” jawabku
sambil berlalu menuju ruangan mas ifan
Aku duduk terdiam di kursi kerjanya . reflek
saja tanganku membuka laci di meja kerja
mas ifan. Aku menemukan amplop merah yang terselip di antara tatanan buku –
buku jurnal kerjanya.
Betapa bagaikan petir di siang bolong, mataku
terbelalak melihat dua lembar foto mas ifan, ya. Foto mas ifan dengan seorang
wanita berkebaya putih. Yang tak lain
dia adalah mbak yosi, wanita yang dulu memberikan ucapan selamat dihari
pernikahanku. Di balik foto itu ada tanggal yang menyatakan foto itu di ambil
dua tahun yang lalu, 13 Januari 2004 dan yang satu lembar lagi ada gambar mas
ifan dan mbak yosi yang sedang menggendong seorang bayi perempuan mungil.
Tertera tanggal 24 maret 2005, foto ini
di ambil satu tahun kemudian setelah foto yang pertama.Aku masih belum ‘ngeh’
dengan foto –foto yang ada di tanganku itu. aku coba untuk mengait- ngaitkan,
antar kedua fotonya.
“Astaghfirullah hal adzim…masyallah, apa yang
selama ini terjadi..mengapa ini terjadi padaku…!!.mas..kenapa kamu tega
melakukan ini padaku. aku sangat mencintaimu mas..” kegenggam foto pernikahan
itu, dadaku terasa sesak. Jantungku seakan berhenti.
“Brarti slama ini, kau sudah menghianatiku,
kau sudah menduakanku, kau sudah membohongiku !!” teriakku dalam hati.
sungguh bodohnya aku. Langit putihpun
sketika menjadi mendung di mataku, dunia seakan – akan menjadi hancur. Tubuhku
seakan tak punya tulang, remuk redam.
****
Mas
ifan ‘memwarningku’, jika aku tetap ingin menjadi istrinya maka aku harus
menerima mbak yosi sebagai maduku, jika tidak, aku akan di ceraikan. Sejak hari
itulah aku mulai menjadi mayat hidup, yang kehilangan cinta, harapan,dan jati
diriku. Aku kini hidup hanya untuk mengemis cintanya. Aku putuskan untuk tetap
mengabdi kepada mas ifan, aku tak mau kehilangannya meskipun cintaku dan hatiku telah dibunuhnya. Aku bukan lagi
manusia, melainkan mayat hidup yang hanya mengaharapkan nyawaku kembali
kedalam jiwaku. Karna aku terlalu mencintainya . Inilah suatu
kebodohan dalam hidupku.Dulu aku cantik sekali..ya dulu sekali..
Kisahnya bagus, dan perlu mendapatkan apresiasi publik ini.... terus semangat berkarya ya Nona Efendi
BalasHapus